Potret Jurang Antar Kelas di Tengah Kota

Muhammad Azis Husein
4 min readJul 27, 2020

--

Kalau kita coba lihat kehidupan di sudut-sudut Jakarta yang jarang diliput oleh media, maka kita akan melihat bahwasanya masih banyak masyarakat yang tidak mendapatlan privilege yang baik. Perumahan kumuh, pendidikan buruk, mata pencaharian terbatas, dan banyak keterbatasan yang sangat memilukan. Hal ini memicu saya untuk berpikir.

"Bagaimana kemiskinan mau diberantas jika hak-hak dasar manusia saja belum merata terpenuhi?"

Sandang, pangan, papan!

Pakaian lusuh dan tak layak dipakainya setiap hari. Masih bagus memiliki cadangan pakaian ganti.

Makan tak tentu waktu, kadang bisa makan kadang pun tidak. Kalaupun bisa, tak taulah bagaimana kandungan gizinya.

Tempat tinggal tak ada, hanya berdirikan gubuk-gubuk kecil yang bahkan bisa hanyut terbawa banjir.

Apalagi pendidikan? Boro-boro terpikir sekolah tinggi, daapt akses terhadap literasi pun sudah sangat disyukuri. Alih-alih bersekolah, mencari uang secara serabutan akan lebih masuk akal untuk mereka bertahan hidup. Bagi mereka, mencukupi kehidupan sehari-hari menjadi prioritas utama ketimbang investasi.

Berbeda hal-nya kalau kita bahas kaum pemilik modal. Mereka memiliki privilege yang lebih untuk bisa mengenyam pendidikan yang layak. Sandang, pangan, papan sudah terpenuhi, kecukupan hari-hari pun tak perlu ia risaukan. Ia dapat fokus bekerja keras meraih pendidikan untuk investasi masa depan. Mereka terus berkembang dibantu dengan suplement dan buku-buku mahal. Sampai akhirnya anak-anak mereka lah yang akan mengembangkan kembali modal menjadi lebih besar.

Mungkin beberapa kali ada motivasi yang berkata bahwa dengan bekerja keras maka akan berhasil. Iya memang bisa, tapi apakah parameter keberhasilannya sepadan antara kaum miskin dan kaum modal? Menurut saya tidak! Gap privilege yang terlalu jauh akan membuat kaum modal sulit dikejar. Kalau di satu masa kaum miskin berusaha keras, di masa yang sama saya yakin kaum modal juga sedang berusaha keras. Namun fasilitas milik kaum modal menjadi faktor percepatan usaha yang mereka lakukan lebih baik dari usaha milik kaum miskin.

Mari kita buat perumpamaan, anggap kaum modal dan kaum miskin memiliki start point yang sama dalam pendidikan. Lalu kita coba perhitungkan percepatan belajar dari kedua kaum tersebut berdasarkan fasilitas yang mereka miliki (anggap besaran usaha yang mereka lakukan sama besar). Kaum modal memiliki fasilitas yang jauh lebih banyak dibanding kaum miskin, seperti halnya buku-buku, guru tambahan, gadget untuk belanar, dan sebagainya. Belum lagi masalah gizi dari panganan sehari-hari. Dari perbdandingan tersebut kita andaikan saja percepatan belajar si kaum modal adalah 2 satuan per hari. Sedangkan kaum miskin dengan fasilitas yang serba kurang, hanya memiliki percepatan sebesar 1 satuan per hari. Dapat dibayangkan dalam 1 tahun saja gap pengetahuan di antara mereka dapat terlampau jauh.

Kalau hal ini terus bergulir, bukan tak mungkin kalau yang miskin akan semakin miskin dan yang bermodal akan semakin besar modalnya. Keturunan-keturunan pemilik modal akan semakin berkuasa atas keturunan-keturuan yang tak mampu bermodal.

Kalau mau dibuat lagi perumpamaannya, kita coba andaikan saja seorang petani dengan pemilik perusahaan besar. Anggap si petani memiliki 2 hektar sawah dan si pemilik perusahaan memiliki omset 1 milyar. Karena faktor gap yang amat jauh tadi, keturunan dari si petani tidak memiliki modal yang cukup untuk memperbesar lahan pertaniannya. Jikalau petani memiliki 2 orang anak, maka 2 hektar sawah tadi dibagi dua untuk masing-masing keturunannya sehingga kini mereka masing-masing hanya memiliki 1 hektar. Mentok-mentok mereka dapat memperbesar modal hingga 1,5 hektar. Begitupun nanti ke anak cucunya akan semakin sedikit lahan yang mereka punya. Sekarang coba lihat pemilik perusahaan tadi. Dengan fasilitas yang baik, keturunannya pun mumpuni untuk memperbesar modal yang mereka miliki. Jikalai si pengusaha ini memiliki 2 orang anak juga, maka masing-masing si anak ini bukan akan mendapat pembagian setengah-setengah dari omset pendahulunya. Akan tetapi mereka masing-masing dengan modal yang sudah ada sebelumnya akan membuat lagi modal yang lebih besar dan menghasilkan omset yang eksponensial dari pendahulunya. Begitupun anak cucu mereka akan semakin besar dan besar mengkapital.

Dari dua perumpamaan di atas, mungkin tidak bisa saya katakan mewakili seluruhnya. Akan tetapi percayalah bahwa tidak sedikit yang terwakili dengan dua perumpamaan di atas. Sebener-benarnya saya pribadi belum mengetahui solusi pasti untuk mengatasi masalah ini. Hanya saja saya ingin berbagi pemikiran dengan pembaca sekalian. Barangkali ada terpkir membuat gerakan pendidikan atau kepedulian sosial dari para pemilik modal yang peduli, maka hal tersebut akan menjadi lebih baik dan lebih adil. Memang memperbaiki tatanan bukan hal yang mudah, namun tak ada salahnya untuk mulai berubah. Perubahan yang di mulai dari hari ini dengan langkah-langkah kecil. Langkah kecil se-simple bersedekah, berbagi semangat, ataupun membantu akses literasi kepada sekitar kita. Jika ada saran dan masukan, sangat dipersilakan. Sila dibaca dan dikritisi. Terimakasih.

Salam,

Muhammad Azis Husein

--

--